Teknologi dan Politik Kata-Rupa

Diposting oleh admin on Sabtu, 05 September 2009

Suara Merdeka, 17 November 2008 Oleh Munawir Aziz RUANG politik yang riuh dengan persaingan, dendam, dan perebutan kepentingan, menjadikan hasrat menemukan lorong untuk berkreasi merebut kuasa. Dunia politik memancarkan nafsu dan meletupkan dahaga akan kepentingan individu serta kelompok. Inilah ”panggung sandiwara” yang memerankan ribuan adegan, menghendaki jutaan aktor dan meniscayakan dentuman ekspresi yang tak pernah surut. Ruang politik menjadi gerbang yang bising, dengan segenap kabut yang mengendap dibalik cemerlangnya. Dunia politik seakan berputar, bergasing dan berdentuman untuk menemukan celah kesempatan bagi pemain dan penguasanya. Di era yang memanjakan hasrat ini, politik menggandeng teknologi untuk bersatu-padu meletupkan kepentingan dan nafsu kuasa menggejolak. Teknologi menjadi komoditas penting yang disandingkan dengan strategi politik, ekspresi politikus dan warna gerakan yang diluapkan. Teknologi menjadi amunisi, senjata, sekaligus pesona yang akan menghantarkan wajah politik menjadi lebih menarik. Wajah-wajah politik, menghendaki teknologi untuk menolong mendesakkan wacana dalam ruang publik. Pemain politik sadar, bahwa era modernitas yang memainkan tren instan, cepat dan profesional, harus didukung dengan daya letup teknologi, agar kampanye dan strategi politik lebih fokus. Titik bidik akan lebih nyata dan tepat, apabila disandingkan dengan energi teknologi. Inilah yang menjadikan politik bersenyawa dengan teknologi. Ketika teknologi menjadi komoditas, aktor politik akan bersaing memanfaatkan teknologi sebagai bagian penting untuk merebut kuasa, melewati lorong pencitraan, permainan wacana, penggelapan informasi dan atraksi ekonomi dengan nada canggih. Ruang politik penuh sesak dengan kepentingan, menjadikan teknologi yang dikaitkan dengan strategi pencitraan, perang wacana dan atraksi ekonomi, lebih berharga. Teknologi menjadi tak sekadar komoditas, akan tetapi menjadi instrumen penting yang dimainkan dan berkelindan dengan strategi politik. Teknologi Pencitraan Strategi politik yang bersenyawa dengan teknologi pencitraan, terbaca dari tren kampanye mutakhir. Politikus dan subyek di sekelilingnya, sadar bahwa permainan wacana untuk mempengaruhi publik luas sangat penting. Pencitraan menjadi strategi jitu dengan mengusung jargon, simbol dan berbagai instrumen lain, untuk mendukung perbaikan citra. Politik berkelindan dengan strategi kata-rupa, yang didukung dengan teknologi. Di ruang pencitraan dan strategi kata-rupa, teknologi berfungsi untuk merekayasa, memanipulasi dan menggelontorkan informasi massif. Teknologi mengirim informasi massal untuk merebut simpati publik. Kemenangan Presiden Amerika, Barack Obama, tak lepas dari strategi ini. Obama memainkan strategi kampanye memukau, yang didukung dengan strategi pemanfaatan teknologi. Strategi pencitraan dengan safari kampanye di berbagai negara bagian, menjadikan Obama merebut simpati publik. Obama memainkan wacana yang tepat untuk mempengaruhi publik Amerika. Lihatlah, bagaimana Obama mengunjungi berbagai negara, mengunjungi titik-titik strategis, dengan kemasaan mode, citra dan penampilan yang jitu. Strategi iklan kampanye dan komentar politik Obama di berbagai media, juga memungkinkan strategi penggunaan teknologi yang efektif. Obama dan tim pemenangannya, memainkan ribuan jurus kampanye yang memukau publik. Dengan memerankan teknologi informasi yang cantik, Obama berhasil mengemas isu rasial, ekonomi, agama, perang, politik hingga usia dan berbagai wacana mutakhir menjadi senjata ampuh. Inilah era strategi pencitraan yang memuncak dalam ruang politik. Di negeri ini, politikus beramai-ramai mengemas kampanye dengan strategi pencitraan yang menarik. Iklan politik yang menggempur ruang sadar warga, menawarkan berbagai alternatif, ajakan dan nada sejuk untuk merebut simpati publik. Ketika pemilu 2009 semakin mendekat, iklan politik di berbagai media massa membanjir dan menyesaki nafas hidup warga kecil. Tren kampanye politik yang dibungkus permainan pencitraan, semakin menandaskan grafik merangkak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, Sutrisno Bachir, Muhaimin Iskandar, Tifatul Sembiring, dan berbagai politisi lainnya bersaing merebut simpati publik dengan iklan kampanye. Di Jawa Timur, sebelum Pilgub 4 November lalu, iklan politik Kaji (Khofifah-Mudjiono) dan Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) juga membanjir menggenangi ruang kehidupan warga Jatim. Selain safari politik yang dilakukan kedua pasangan cagub-cawagub, iklan politik di berbagai media juga terbukti efektif menaikkan citra calon pemimpin. Inilah era ruang politik yang penuh sesak dengan strategi kata-rupa. Tipuan Kata-Rupa Dengan memuja strategi pencitraan, ruang politik akhirnya penuh sesak dengan lipstik, kamera, facial-lotion dan seperangkat aturan yang mendukung madzhab kata-rupa. Politikus akhirnya lebih mementingkan image daripada esensi aspirasi rakyat. Kompas politik berganti haluan, mencari sudut permainan citra dan strategi informasi. Strategi pencitraan yang berdengung dalam kampanye politik dan permainan informasi, menjadikan politik kehilangan ruhnya. Teknologi yang digunakan dengan nada kepentingan, menjadikan politik kehilangan esensinya. Ruang politik akhirnya (sebut Karl Marx) sebagai ”fetitisme komoditi” (commodity fethisism), yakni segala sesuatu yang dipuja tanpa alasan sehat. Di panggung kompetisi, politisi memerankan sesuatu dengan kenyataan dan daya pesona, yang sesungguhnya tak dimilikinya. Ruang politik akhirnya memerankan esensi yang timpang, aspirasi dari grass root semakin jauh dan tenggelam. Politisi menghendaki strategi pencitraan untuk melambungkan popularitas. Hingga, Yasraf Amir Piliang (2003) mendedahkan analisis bahwa, ada sebuah jurang yang memisahkan antara citra sebuah produk yang ditampilkan dan realitas produk sesungguhnya. Strategi pencitraan yang berkelindan dengan penggunaan teknologi dan sayap informasi, seharusnya tak menghilangkan esensi politik dalam ruang demokrasi. Jangan sampai pencitraan menjadi kiblat yang menghalangi tercapainya kehendak dan aspirasi rakyat. (80) —Munawir Aziz, Wakil Direktur Lembaga Kajian al-Hikmah, Koordinator Divisi Riset Sampak Gus Uran, Pati.
More aboutTeknologi dan Politik Kata-Rupa

Revitalisasi Identitas Kota Pati

Diposting oleh admin

Suara Merdeka, 11 Agustus 2009 Oleh Munawir Aziz Hari jadi merupakan penanda sejarah kota. Titik mula denyut kehidupan, pemerintahan, gerak sosial-ekonomi dan aktivitas kebudayaan warga dimulai. Sejarah kota bukan sekadar perayaan artifisial berupa kirab, upacara dan publikasi pernyataan di berbagai tempat. Maka, hari jadi ke-686 kota Pati, pada Agustus 2009, penting sebagai momentum refleksi atas gerak kota dan visi pemerintah masa mendatang. Kota Pati yang lahir hampir 7 abad silam, tak sekadar hadir sebagai kota dengan kerumitan politik yang selalu ada. Kota ini merupakan titik sejarah beberapa tokoh yang moncer, entah sebagai legenda, maupun sebagai aktor ‘’sejarah mental’’. Di sebelah utara Pati, terdapat Kiai Mutamakin, yang menjadi tokoh santri, dengan keistimewaan tersendiri. Makam Kiai Mutamakin, di Kajen, Margoyoso, sekarang ini menjadi oase di tengah melimpahnya santri dan pondok pesantren di Pati. Kajen merupakan titik intelektual berbasis agama di Pati, yang disesaki oleh ribuan santri, dengan biografi perjalanan hidup yang berbeda, namun dapat berkumpul di lingkungan pesantren. Sementara itu, di sebelah selatan Pati, terdapat tokoh Saridin (Syeh Jangkung). Makam Saridin tak hanya sebagai penanda cerita dan gerak sejarah masyarakat Pati selatan. Saridin juga menebarkan semangat kreatif, ia menjadi spirit hidup bagi warga Kayen dan daerah sekitarnya. Bahkan, pada momen-momen tertentu, makam Saridin ramai dihadiri pengunjung yang ingin ziarah, ngalap berkah, maupun melakukan riset sejarah-kebudayaan di daerah ini. Saridin seakan tetap hadir, walaupun dianggap sebagai ”sejarah mental” untuk tak menyebutnya sebagai mitos. Dua tokoh inilah yang sangat memberi corak kehidupan warga Pati. Kiai Mutamakin merupakan referensi ulama, tokoh agama dan santri di kabupaten Pati dan sekitarnya. Kiai Mutamakin memberi semangat dan landasan kerja keras untuk selalu membela kebenaran, biarpun pahit diucapkan serta teguh pada prinsip. Syeh Jangkung memberi inspirasi untuk terus bertahan di tengah gempuran krisis, semangat belajar, dan mengabdi pada guru. Ia merupakan tokoh unik dengan kreatifitas tak pernah usai. Narasi cerita Syeh Jangkung terus ditafsirkan sebagai cerita Ketoprak, fiksi maupun riset dengan alur tafsir yang segar. Jejak Inspirasi Saya kira, refleksi hari jadi kota Pati, dapat dimulai dari memaknai kembali inspirasi yang terus hadir dari kedua tokoh tersebut; Kiai Mutamakin dan Syeh Jangkung. Kombinasi visi dari kedua tokoh ini, penting untuk membangun kota Pati saat ini dan masa mendatang. Kota Pati membutuhkan kepemimpinan yang tipe pekerja keras, mengerti aspirasi rakyat, tak mudah terprovokasi, teguh pada prinsip dan bervisi jauh ke depan. Kepemimpinan model inilah yang menjadikan kota Pati sebagai simpul politik dan kebudayaan. Potensi Kota Pati yang sangat beragam, belum mendapatkan sentuhan yang berarti. Di berbagai area, potensi daerah ini sangat menjanjikan apabila diperhatikan dan dikelola dengan serius. Kesempatan ini terus saja menunggu untuk dimasuki, potensi terus menunggu dikelola dengan manajemen profesional. Inilah yang saya kira penting untuk dikembangkan kembali; potensi lokal sebagai identitas kota Pati. Pembangunan di Kabupaten Pati, seakan masih tersentral pada beberapa titik kabupaten yang menjadi ”lahan basah”. Kota Pati dan Juwana, seakan merayakan proyek pembangunan yang tak pernah selesai. Dua kecamatan ini hadir dengan wajah modern, namun tak seimbang. Modernisasi infrastruktur tanpa dibekali dengan perbaikan sumber daya dan visi kreatif warga. Revitalisasi Identitas Di bidang ekonomi, pemerintah Pati perlu menggiatkan industri kreatif sebagai andalan pemasukan daerah dan penggerak ekonomi rumah tangga. Industri kerajinan Kuningan di Juwana, sekarang ini sedang terpuruk. Pemerintah dan pihak terkait perlu menangani ini untuk menolong ribuan pekerja kerajinan Kuningan. Selain itu, potensi pertanian dan perikanan di Pati perlu dikelola dengan manajemen bervisi progresif. Potensi buah-buahan di daerah Gembong, Tlogowungu, Gunungwungkal dan Cluwak penting untuk diteliti. Pati perlu membentuk ikon produk pertanian, untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga dan mendongkrak anggaran daerah. Slogan ‘’Pati Bumi Mina Tani’’ harus direvitalisasi untuk menegaskan identitas kota sebagai daerah agraris dengan potensi pertanian dan perikanan. Saya kira dibutuhkan visi pemimpin yang mampu meneropong kota Pati jauh ke depan. Agar, pembangunan dan perbaikan daerah tak hanya mengandalkan program instan dan cepat menguntungkan. (80) — Munawir Aziz,  Wakil Direktur Lembaga Kajian al-Hikmah Pati
More aboutRevitalisasi Identitas Kota Pati

Pro-Kontra PERDA Anti Pengemis

Diposting oleh admin

Oleh Sulatri 

Kemiskinan merupakan permasalahan dari zaman dahulu hingga sekarang yang tiada kunjung habisnya. Munculnya kemiskinan sendiri bukan hanya dari satu sebab saja akan tetapi berbagai latar belakang yang menimbulkan persoalan tersebut. Kemiskinan merupakan lingkaran setan yang terus menerus berputar, Suara Merdeka (31/8/2008). Lingkaran setan itu yakni kondisi yang mengambarkan sebab akibat tanpa ujung. Mengapa orang hidup miskin karena ia penghasilannya rendah. Mengapa penghasilannya rendah karena ia tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Mengapa ia tidak mendapatkan pendidikan yang baik karena ia tidak punya uang. Kenapa ia tidak punya uang dan seterusnya.
Di beberapa waktu ini memang di berbagai daerah sedang ramai-ramai dibahas tentang peraturan daerah (perda) yang melarang adanya pengemis. Memang pengemis itu tidak bisa dijauhkan dengan yang namanya kemiskinan. Di beberapa daerah memang sudah menetapkan perda tentang adanya larangan mengemis dan juga sanksi bagi seseorang yang memberi santunan bagi pengemis. Pemberlakuan perda tentang anti pengemis itu memang juga banyak mendapat pro-kontra dan sorotan dari beberapa LSM yang ada terutama yang ada di Jakarta. Satu sisi orang yang mengemis itu juga berhak untuk mempertahankan hidup meski dengan jalan mengemis kepada orang lain. Disisi lain orang juga berhak menikmati suasana nyaman ketika diperjalanan atau berada di kota tanpa adanya kehadiran pengemis yang silih berganti yang mengganggu kenyamanan seseorang. Yang menjadi ketakutan kita adalah fenomena pengemis yang terus bertambah hari demi hari di kota-kota, baik kota besar atau kota kecil kian menjadi pandangan yang semakin biasa dan membuat kurang nyamannya suasana di wilayah tersebut. Hal ini tentunya menjadikan permasalahan tersendiri bagi warga dan pemerintah daerah yang mendapatkan permasalahan tersebut. Warga yang tinggal di kota itu bukan hanya warga yang mempunyai KTP dan berdomisili disitu.
Orang kampung sering beranggapan bahwa yang namanya hidup di kota itu bisa lebih mudah dibandingkan jika tinggal di desa. Akhirnya banyak sekali warga luar kota yang berbondong-bondong mencoba mengaiz rezqi di kota meski mungkin hanya berlatar belakang pendidikan dan keahlian yang rendah. Tak heran mereka begitu kesusahan ketika akan mencoba bertahan hidup di kota. Sementara untuk kembali ke kampung mereka sudah enggan. Akhirnya banyak orang yang nekad menjalankan berbagai kerjaan asalkan mereka bisa hidup di kota. Masih beruntung mereka yang tetap bisa bekerja untuk mempertahankan hidupnya. Meskipun mereka bukan ber-KTP daerah tersebut akan tetapi ketika mereka juga ikut berdomisili daerah tersebut berarti juga jika ada permasalah seperti itu juga menjadi tanggung jawab pemerintah disitu.
Kesulitan untuk mendapatkan pemasukkan yang layak akhirnya mendorong seseorang mengemis di tempat-tempat public. ketika seseorang mengemis ternyata dia lebih mudah mendapatkan uang daripada bekerja akhirnya banyak yang menjadikan mengemis sebagai profesinya untuk bisa bertahan hidup dan enggan untuk beralih profesi lain meskipun berulangkali mereka sering dirazia para petugas. Jika sudah begini akhirnya mengemis merupakan salah satu penyakit masyarakat yang harus diperangi. Kita bisa membandingkan penduduk desa yang bekerja membanting tulang menjadi petani dalam sehari-harinya saja belum tentu mendapatkan uang. Seorang pedagang yang berkeliling baik siang atau malam juga susah mendapatkan uang. Belum kadang daganganya menjadi tidak laku lagi karena sudah kadaluarsa. Sementara orang-orang yang bisa kita katakanlah malas untuk bekerja justru dengan mudahnya mengaiz rezqi dengan menjadikan mengemis sebagai profesi kesehariannya dalam kehidupannya. Maka pemerintah dan stakeholder yang ada diharapkan saling bekerjasama untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kita berharap jangan sampai fenomena mengemis menjadi tradisi disekitar kita.
Memang kita tidak mengelak bahwa angka penduduk miskin di Jawa Tengah tercatat masih tinggi. Angkanya mencapai 6,56 juta jiwa atau sebesar 20,25% dari total penduduk sebanyak 32,38 juta jiwa, Solopos, (29/8/2008). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Di Provinsi Jawa Tengah sendiri dalam Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Jawa tengah 2010 untuk target pendapatan daerah sebesar Rp 5.329.941.123.000,00. Belanja tidak langsung Rp 3.189.499.361,00, belanja langsung Rp 1.746.455.299,00 dengan jumlah plafon sementara Rp 4.935.954.660,00.
Anggaran tersebut kemudian dijabarkan lagi menurut berbagai urusan dan SKPD dengan jumlahnya bervariasi di masing-masing SKPD. Untuk dana pendidikan disebutkan jumlahnya Rp 273.119.917,00, dana kesehatan jumlahnya Rp 707.827.355,00 dan dana sosial Rp 137.695.374,00. Tentunya jika kita lihat dana itu jumlahnya sudah sangat besar. Yang menjadi pertanyaan, apakah dana tersebut benar-benar nanti bisa mengatasi permasalahan kemiskinan? Apakah nantinya dana tersebut benar-benar bisa terserap oleh masyarakat terutama masyarakat miskin? Apakah nanti masyarakat akan mudah mengakses anggaran tersebut? Itu baru data yang berasal dari tingkat provinsi yang nantinya juga akan membawahi berbagai daerah yang dinaunginya. Tentunya dalam mengalirkan anggaran provinsi ke kota dan kabupatenpun juga nantinya akan bervariasi. Satu daerah yang satu dengan daerah yang lain tidaklah sama. Di masing-masing kabupaten/kota sendiri jumlah APBDnya juga bervariasi. Ada yang pendapatannya sudah bisa dibilang cukup lumayan dan ada daerah yang alokasi pendapatannya masih minim sehingga daerah tersebut kesusahan ketika akan memenuhi berbagai kebutuhan di wilayah tersebut.
Tak heran jika banyak persolaan yang harus dihadapi oleh pemerintah ketika akan meprioritaskan alokasi anggaran. Apakah alokasi dana tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang memang harus segera diatasi? Bagaimana nanti pencairan dana yang akan diturunkan. Kenyataan dilapangan masyarakat masih banyak mengalami kendala ketika akan mengakses dana tersebut. Salah satu permasalahannya adalah prosedur yang berbelit dan masih adanya pemotongan angaran disana-sini.
Memang kita juga bisa menilai positif untuk mengatasi menjamurnya pengemis di beberapa daerah sudah memberlakukan Perda anti pengemis sebagai salah satu upaya penanganan penyakit sosial masyarakat. Akan tetapi jangan sampai dengan adanya perda ini hanya semata-mata merazia pengemis dan penyantunnya tanpa ada solusi yang lebih lanjut. Tentunya pendidikan dan pengarahanpun perlu dilakukan bekerjasama dengan stakeholder yang mempunyai kepedulian terhadap permasalahan ini.
More aboutPro-Kontra PERDA Anti Pengemis

Melacak Jejak Otoritas Perempuan

Diposting oleh admin on Jumat, 04 September 2009

Suara Merdeka, 24 September 2008 GENDERANG GENDER KAJIAN sosial mengenai perempuan menjadi teks penting dalam beberapa dekade kehidupan manusia. Perempuan hidup dalam ajang kontestasi kehidupan yang menyuguhkan kemampuan pribadi (life skill) dan kreativitas. Inilah masa bagi perempuan untuk berkembang memegang peranan penting dalam ranah publik. Perempuan bebas memasuki gerbang pendidikan, ruang politik dan gelegar aktivitas sosial. Di titik ini perempuan dituntut untuk mampu eksis dengan menunjukkan pemikiran cemerlang dan kreativitas kepemimpinan. Akan tetapi, di negeri ini, hembusan gerakan emansipasi tak seperti yang dibayangkan. Walaupun potensi, kegigihan dan daya saingnya tak kalah dari laki-laki, perempuan masih dipandang sebelah mata, serta terbelenggu hegemoni kaum adam. Di ranah politik, suara kritis perempuan seakan tertutup oleh teriakan lantang laki-laki. Porsi 30% perempuan anggota dewan tak merata di semua daerah. Kebijakan pemerintah mengenai hak hidup perempuan tak banyak memihak kaum hawa, hanya riuh ketika diperdebatkan dan setengah hati ketika hendak diaktualisasikan. Gerakan emansipasi yang didukung lelaki hanya menjadi lips service semata, garang di atas kertas dan di media massa, akan tetapi lemah ketika diteropong dalam realitas kehidupan. Perempuan menjadi silent majority yang terbenam ketika hendak menyuarakan aspirasi. Jejak Otoritas Perempuan Dalam lanskap sejarah kehidupan, terbentang nama tokoh perempuan yang menjadi pahlawan dan pemimpin di zamannya. Hal ini mengabarkan, di setiap jenjang waktu dan ruang hidup, selalu ada perempuan yang kreatif, inovatif dan bergerak memberi pencerahan. Tokoh perempuan ini tak hanya menjadi ’’anak zaman’’, tetapi juga menjadi lentera untuk menerangi kehidupan. Jejak sejarah kebudayaan umat muslim telah merekam hal ini. Dalam Alqur’an termaktub beberapa nama perempuan yang mulia dan mendapat penafsiran tersendiri. Tokoh perempuan yang disebut secara mulia misalnya, ibu Nabi Musa (ummi musa), Maryam dan ratu Bilqis. Nama perempuan ini menjadi tokoh penting untuk dijadikan teladan (uswah) karena istimewa dalam nafas zamannya.  Ibu Nabi Musa menjadi tokoh sentral dalam kehidupan utusan Allah ini, karena Ummi Musa mengasuh Musa dengan sepenuh hati di tengah cobaan kaumnya. Ummi Musa rela melaksanakan perintah Allah dengan menjatuhkan nabi Musa ke dalam sungai untuk menghindar dari ancaman musuh (simak dalam QS 28:7). Ummi Musa menjadi perempuan istimewa yang tak gentar melawan musuh, agar putranya selamat dan mampu menerima risalah Tuhan. Bahkan, Amina Wadud (2006) mengatakan bahwa Ummi Musa satu-satunya perempuan yang mendapat wahyu Allah. Maryam juga menempati posisi penting, Ibu Nabi Isa ini mendapat keistimewaan yang luar biasa dalam jejak kitab Al-Qur’an. Tidak hanya dikarenakan mengandung Nabi Isa dalam keadaan luar biasa, tetapi kesucian dan ketegaran menghadapi kaum yang tak suka dengan dirinya dan kenabian Isa. Ketokohan Maryam menjadi refleksi penting bagi aktivis perempuan agar tak surut menghadapi gelombang cobaan kehidupan. Kisah Ratu Bilqis juga menggetarkan. Tokoh ini bahkan menjadi inspirasi bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin yang sukses. Mengenai Ratu Bilqis, Alquran mewartakan, “Dia berkuasa, dianugerahi segala sesuatu dan mempunyai singgasana yang besar” (QS. 27:3). Ayat ini mengabarkan, perempuan berhak memiliki otoritas yang sama dengan lelaki, bahkan mampu memimpin institusi maupun kerajaan besar. Mengusung Otoritas Perempuan Rentetan cerita dan nama tokoh di atas menjadi tonggak (milestone) yang mengukuhkan bahwa perempuan mempunyai otoritas yang sama dengan lelaki. Hal inilah yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kehidupan perempuan Indonesia. Di tengah gelombang krisis, perempuan negeri ini hendaknya bangkit mengusung pencerahan bagi warga Indonesia. Di ruang publik, perempuan dapat menjadi pemimpin dan tokoh yang memegang tampuk kekuasaan. Ketela-danan Kartini tak dapat kita hapus dari sejarah kebangsaan. Munculnya perempuan semacam Bunda Teresa (India), Condoleeza Rise (Amerika), Yulia Tymosenko (PM Ukraina), Megawati Soekarno Putri, Sinta Nuriyah Wahid, Nafisah Sahal (Indonesia) dan aktivis perempuan lain menjadi penanda bahwa era kebangkitan perempuan telah menampakkan hasil luar biasa. Bahkan, di tengah keterbatasan kesehatan, Ibunda Sinta Nuriyah Wahid bersama suaminya (KH Abdurrahman Wahid) mampu menyuarakan hati nuraninya dalam memperjuangkan HAM, demokrasi, hak perempuan dan menghapus krisis kemanusiaan. Tokoh inilah yang seharusnya menjadi teladan kehidupan perempuan Indonesia. Pada konteks ini, tugas bersama yang harus dilakukan yakni kampanye penyadaran terhadap kaum lelaki yang memiliki pandangan stereotipe terhadap perempuan. Gerakan kesetaraan tak hanya menjadi pepesan kosong. Perempuan seharusnya tak lagi menjadi maf’ul (objek) tetapi menjadi fa’il (subjet) dalam detak jantung kehidupan. Kesadaran inilah yang seharusnya muncul dari nurani perempuan. Apabila hal ini terjadi, perempuan akan menjadi makluk Tuhan yang berkelindan dengan sejarah kesuksesan. (80) – Munawir Aziz, peminat kajian gender, wakil direktur Lembaga Kajian Al-Hikmah Pati, Kader PMII Kudus
More aboutMelacak Jejak Otoritas Perempuan