Paradigma Gerakan PMII

Diposting oleh Perisai Jateng on Minggu, 14 Februari 2010

Muqqodimah
Sebuah organisasi akan mudah rapuh dan tidak susah untuk dihancurkan kalau alat pengusung paradigmanya sangat buruk, atau bahkan tidak memiliki paradigma. Karena masa depan aktivitas kerjanya tak menentu dan sangat mudah dibaca oleh musuhnya, hal ini menjadikan rentannya arah gerakan, tujuan dan visi organisasi. Manusia tanpa paradigma juga akan lemah karena susah menemukan karakter dirinya, ia akan terombang-ambing dan mudah diterpa oleh issu-issu yang berpotensi menyesatkan. Sebaliknya kuatnya organisasi karena memiliki pijakan paradigmatik dan diimplementasikan dalam seluruh step aktivitasnya untuk mencapai tujuan (visi).

Paradigma dalam argumentasi
Thomas S. Khun memaknai paradigma sebagai gagasan mendasar yang dikokohkan dengan basis material pendukungnya . Dukungan itu ditegaskan menjadi tiga (3) komponen: pertama, adanya kaum intelektual yang melakukan riset dan kajian secara serius dan mengakar. Kedua, tersedianya kurikulum yang rigit secara eksplisit sebagai implementasi tahapan proses perjuangan. Ketiga, propaganda sebagai skenario gerakan untuk mencapai kekuasaan.

Rederichs dan Robert melihat paradigma selaksa pandangan mendasar yang diserta disiplin ilmu yang menjadi pokok persoalan untuk diselesaikannya. Dengan interpretasi yang lain, ia ingin mengatakan bahwa paradigma merupakan suatu ‘senjata’ yang dipakai penyelesaian terhadap persoalan yang dikaji dengan seksama dan mendalam lewat pemikiran yang filosofis.
Berbeda lagi dengan pandangan Ritzer, ia berupaya meletakkan arti paradigma sebagai gagasan fundamental (asasi) mengenai segala sesuatu yang menjadi pokok persoalan. Paradigma harus merupakan alat yang dapat menjawab persoalan yang dihadapi dan membantu mengurai gugusan penyelesai persoalan. Ia semestinya mampu menterjemahkan pertanyaan untuk merunut jawaban sebagai solusi atas masalahnya dengan paradigma tersebut. Paradigma merupakan kesatuan konsensus yang terluas daalam suatu bidaang ilmu dan dapat membedakan antara satu ilmuan satu dengan lainnya, bisa menggolongkan, merangkai makna, menghubungkan antara eksemplar, teori, metode, serta instrumen yang ada didalamnya.

Dengan gaya yang sangat simple, paradigma bisa diformulasikan sebagai fokus pijakan untuk menentukan cara pikir, kreativitas menggagas dan menyusun suatu teori baku, menata pertanyaan dan persoalan secara komprehensip. Orientasi umum ini didasarkan pada pembacaan terhadap kenyataan yang dapat dilihat. Sehingga bisa terjadi paradigma sesorang akan berbeda dengan yang lain. Dan karena arah pijakan yang beerbeda ini bisa berbeda pula pisau analisis yang dipakai untuk mencari jawaban atas masalah tersebut, begitu juga dalam hal penyusunan teori, dalam membangun konstruksi pikir sampai pada aksi dan solusi yang ingin diambil .

Ada empat paradigma (dengan tetap mepertimbangkan argumen kritis diatas) yang dikemukakan oleh para sosiolog, yakni: pertama Paradigma humanis radikal; ia mengasumsikan adanya kekuatan supra struktur yang ada diluar diri dan berhasilmemisahkan dengan kesadaran (alienasi) dan melahirkan kesadaran paslu. Kedua, paradigma Strukturalis radikal, aliraan ini berusahan memperjuangkan perubahan struktur secara radikal dan analisisnya ditekankan pada pertentangan struktural dan bentuk-bentuk penguasaan manusia. Ketiga, paradigma Fenomenologis, inti paradigma ini menaruh kesadaran dan subyektivitas pribadi manusia untuk membuka tabir tersembunyi dibalik kehidupan sosial. Keempat, paradigma fungsionalis, kaaum ini berpijak pada sosiologi keteraturan dan condong pada pendekatan realis, positif, determinis, dan nomotetis. Golongan ini melahirkan kaum skeptif dan pragmatis yang berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan.

Paradigma kritis sebagai kajian Alternatif.
Paradigma kritis embrionya dicuri dari pemikiran begawan filsafat kritis Immanuel Kant , dialektikanya Hegel dan disempurnakan dengan conflict paradigm-nya Marx . Konsep dan bangun teori kritis dapat ditilik dari produk teori yang dikonstruksikan dari paradigma kritis. Teori kritis menolak produk teori yang diusung oleh pemikir positivis seperti ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, dan termasuk juga filsafat. Ilmu-ilmu tersebut tidak menyertakan masyarakat sebagai elemen pentingnya, namun malah membelenggunya dengan ilmu itu sendiri.
Meski ilmu tersebut tampak rasional, namun kenyataannya sangat irrasional, karena tidak membahagiakan dan gagal menciptakan interaksi sosial yang benar, yang lebih manusiawi.

Dalam kontek paradigma kritis, semangat dari conflict paradigm sangat kental mewarnai basis kontruksi teorinya, dimana manusia sebagai central of issue dari kenyataan hidup yang didominasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah, termasuk dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu harus tercipta suatu tatanan yang emansipatoris dengan melakukan penggalian atas ketimpangan dan ketertumpukan kelas sosial. Dan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi bukan dimaksudkan untuk menindas rakyat, tapi harus digunakan sebagai pembebas rakyat dari ketertindasan, melepaskan ketergantungannya dengan irrasionalitas dan perbudakan.
Paradigma kritis dapat dilacak dari penampilannya yang heterogen. Jadi antara para pemikir tidak saling sepaham, karena mereka saling menanggapi dan mengkritik, bukan hanya mengamini saja. Paradigma ini juga menolak segala macam iddeologi yang membelenggu dan mengurangi kebebasan manusia termasuk ideologi komunisme.
Namun demikian, mereka disatukan dengan itikad anti dogmatis (taklid buta) dan menolak sebagai ‘marxisme murni’. Dan bila kita buntuti, pemikiran ini identik dengan pandangan kaum pluralis atas manusia.

Salah satu kecurigaan dari teori kritis terhadap paradigma positivis bahwa dibelakan selubung obyektivitas disiplin ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan kekuasaan. Kepentingan ini dipahami sebagai economical and political interest yang dalam masyarakat industri maju , kontradiksi dan penindasan ini terhidden dan kayak tidak lagi nampak. Semua sisi hidup masyarakat bersatu berkolusi menimbulkan kesan bahwa semuanya baik-baik saja, semua kebutuhan dapat dipuaskan dan diefisienkan. Ada bangunan image bahwa masyarakat tidak mempunyai masalah terhadap penindasan, meskipun kecil adanya.


PMII dan Tawaran Paradigma Kritis Transformatif
Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa, alasan-alasan tersebut adalah :
Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola pikir positivistik modernis. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi ideologi dan berhala yang mengharuskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan hal ini dia akan ditinggalkan dan dipinggirkan, sehingga eksistensinya tidak diakui. Akibatnya, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. Dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.

Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, beragam baik secara etnis, tradisi, kultur, maupun kepercayaan. Kondisii seperti ini akan lebih tetap jika diterapkan paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitas secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.

Ketiga, sebagaimana kita ketahui selama pemerintahan Orde Baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik. Akibatnya ruang publik masyarakat (public sphere) hilang karena direnggut oleh kekuatan negara. Dampak lebih lanjut dari kondisii yang demikian masyarakat dihinggapi budaya bisu, sehingga menggagu proses demokratisasi karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapkan negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.

Keempat, selama pemerintahan yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi developmentalisme, massa NU yang termasuk didalamnya PMII, dimarginalisasikan secara total. Hal ini terjadi karena NU dianggap sebagai mssa tradisional yang merupakan antitesis dari pola pemikiran modern. Disamping itu, sebagai konsekuensi logis dari penerapan paradigma keteraturan, pemeritah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosial, sehingga gejolak sekecil apapun harus diredam. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam kondisi demikian, maka mssa NU yang dipinggirkan tidak bisa melakukan tuntutan perubahan yang berarti karena akan dianggap menggagu stabilitas atau perusak paradigma yang telah ditetapkan. Dalam suasana yang demikian, secara sosiologis massa NU akan sulit berkembang karena tidak memiliki akses yang memadai untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kreatifitas dan potensinya untuk mendobrak kemujuran yang ada, maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, disamping belenggu sistem sosial politik yang dilakukan negara dan sistem kapitalisme global yang terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, faktor yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Karena hal ini, maka secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama. Terjadi dogmatisasi agama, sehingga kita tidak bisa membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuaan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Dalam upaya mengembalikan fungsi dan ajaran agama, maka diperlukan adanya dekonstruksi pemahaman keagamaan.

Dalam hal ini paradigma kritis hanya mampu sebagai alat analisa sosial atau hanya sebatas melakukan pembacaan pada wilayah-wilayah teoritik, tapi belum mampu dijadikan kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Maka untuk menyempurnakan kelemahan paradigma ini diberi tambahan transformatif, artinya pembacaan-pembacaan terhadap realitas sosial itu dapat di turunkan pada wilayah-wilayah praksis sehingga dapat dijadikan sahabat-sahabat di PMII sebagai instrumen-instrumen untuk bergerak.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?