Demitologisasi Gunung Merapi

Diposting oleh admin on Rabu, 03 November 2010


Ketika aktivitas Gunung Merapi dinyatakan oleh pemerintah berubah statusnya dari aktif normal, waspada, siaga, hingga menjadi awas, perbincangan tentang gunung itu menjadi semakin seru. Berbagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap Gunung Merapi angkat bicara, seolah-olah mereka sedang bersaing untuk membuktikan bahwa pengetahuan merekalah yang paling benar.
Meskipun dengan cara ungkapan pengetahuan yang berbeda-beda karena perbedaan otoritas, terus saja wacana tentang gunung itu bergulir baik dalam keadaan normal, anomali maupun pascaletusan sehingga tidak mengherankan kalau isu Merapi menjadi komoditas berita. 

Mereka yang terlibat dalam pergulatan wacana Merapi meliputi menteri, gubernur, bupati, vulkanolog, birokrat, elite spiritual tradisional, dan masyarakat lokal. Agen-agen tersebut saling mereproduksi pengetahuan-pengetahuan (baca: mitos-mitos) tentang Merapi untuk kemudian saling menekan dan memenangkan pertarungan pengetahuan itu.


Ada dua kepentingan utama yang melandasi reproduksi pengetahuan Gunung Merapi, yaitu kepentingan manifest (tampak) atau kepentingan untuk menyelamatkan penduduk apabila terjadi bencana dan kepentingan latent (terselubung) atau kepentingan untuk meneguhkan kekuasaan. Semakin dalam dan predictable pengetahuan pihak tertentu tentang perilaku Merapi akan semakin tinggi legitimasi dan previlese politiknya.

Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa ada tiga pengetahuan Gunung Merapi yang hingga saat ini saling bersaing untuk memperoleh pembenaran dan berebut pengaruh dalam masyarakat. Pertama, pengetahuan tradisional penduduk lokal yang tinggal di sekitar Merapi. Mereka memercayai bahwa Merapi memiliki nyawa sebagai penunggu sehingga untuk menghindari kemarahan penunggunya perlu mengadakan ritual dan sesaji.

Yang bisa berhubungan dan mengetahui kehendak penunggu hanya orang-orang tertentu seperti Mbah Mardjo, Mbah Maridjan, Mbah Hardjo Sipon, dan lain-lain, sedang rakyat hanya berposisi memercayai dan mengikuti saja kehendak elite-elite spiritual tersebut. Maka tidak mengherankan kalau elite-elite spiritual lokal tersebut juga memperoleh previlese ekonomi, politik, dan kebudayaan dalam konteks komunitas lokal.

Kedua, mitologi Merapi yang direproduksi Keraton Mataram demi tegaknya kekuasaan kerajaan itu. Mitologi ini menegaskan bahwa penunggu Merapi adalah Kyai Sapu Jagad dan penguasa Laut Selatan adalah Kanjeng Ratu Kidul.

Agar kekuasaan Mataram tetap abadi maka raja harus berkolaborasi dengan para penguasa tersebut dengan cara menjadikan Kyai Sapu Jagad sebagai mitra politik dan menjadikan Kanjeng Ratu Kidul sebagai permaisuri. Ritual, sesaji, dan upacara larung harus rutin dilakukan di puncak Merapi dan di Laut Selatan agar kedua kekuatan tersebut tidak menjadi destruktif dan menimbulkan bencana.

Yang bisa berkomunikasi dengan kedua kekuatan gaib tersebut hanya raja, sedang rakyat hanya menjadi spectators, followers, pelaksana ritual dan dikonstruksikan untuk memercayainya. Mitologi semacam ini sengaja terus dipelihara demi tegaknya kekuasaan kebudayaan, ekonomi, dan politik Kerajaan Mataram.

Ketiga, pengetahuan modern yang direproduksi oleh orang-orang universitas dan digunakan pemerintah sebagai landasan kebijakan. Pengetahuan ini berbasis rasionalisme Barat, yaitu science dalam hal ini ilmu tentang kegunungapian (vulkanologi) yang dapat mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi perilaku Merapi.

Dengan instrumen modernnya seperti seismograf, teropong inframerah, pemantau lahar elektronik, dan lain-lain, ilmuwan, birokrat, bupati, dan gubernur memiliki otoritas untuk membuat pernyataan, kebijakan pengungsian, dan proyek-proyek penanggulangan bencana.
Harus jujur.

Bahkan tidak dapat dimungkiri bahwa vulkanologi telah menjadi mitos baru. Buktinya, atas dasar vulkanologi dapat diciptakan megaproyek Merapi yang nilainya hingga miliaran rupiah. Siapakah yang paling diuntungkan atas dominasi pengetahuan vulkanologi itu? Rakyat, elite pemerintahan, ilmuwan, atau pelaku bisnis? Kalau kita membuka kembali lembaran sejarah letusan Merapi tampak bahwa korban manusia tidak dapat dielakkan meski kita telah memiliki tiga macam mitos itu.

Gunung ini pernah meletus lebih dari 68 kali sejak tahun 1548. Letusan terbesar terjadi pada Agustus tahun 1672 dengan jumlah korban tewas mencapai 3.000 orang. Sedang letusan terakhir yang membawa korban yaitu tahun 1994 dengan 69 orang tewas.
Artinya, mitos-mitos tradisional, kerajaan, dan vulkanologi tidak dapat menjadi garansi keselamatan manusia. Oleh karena itu, untuk mencerdaskan rakyat maka yang harus dilakukan adalah melakukan demitologisasi pengetahuan Merapi.


Mitos-mitos tentang Merapi yang ada sekarang merupakan ekspresi dari dorongan "hasrat berkuasa" dari pihak-pihak yang mereproduksi pengetahuan itu sendiri. Mitos tentang Merapi yang dianggap sahih saat ini dapat ditafsirkan sebagai hasil penindasan terhadap mitos- mitos yang lain dengan menyembunyikan penindasan itu sendiri.


Contohnya mitos Merapi yang digunakan oleh pemerintah (berbasis vulkanologi) merupakan hasil penggusuran atas mitos-mitos Merapi yang lainnya. Kita harus mencurigai dan menguji secara jujur setiap pernyataan tentang Merapi yang keluar dari mulut-mulut elite spiritual lokal, pemimpin tradisional, birokrat maupun ilmuwan, karena di balik reproduksi pengetahuan Merapi adalah "hasrat berkuasa" baik dari sisi ekonomi, politik, maupun kebudayaan.

Berilah kesempatan gunung itu untuk batuk-batuk, muntah, dan bernapas kembali seperti kita juga memiliki hak untuk hidup di atas bumi ini.

oleh Agus Sidik
NMCP 10 pacivis  UI

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Bagaimana merekrut dan mengembangkan organisasi ekternal kampus di masa kini?